Jenderal Pramono Edhi dan Makelar Senjata

Bookmark and Share

Jend Pramono Edhie Wibowo
(Foto Tempo)
Jakarta - Mafia pengadaan juga menggerus dana pembelian alat tempur ke luar negeri. Makelar senjata membuat harga berlipat-lipat. Jenderal Pramono Edhie Wibowo mengisahkan pengalaman ketika Angkatan Darat hendak membeli 5.000 teropong Trijicon dari Amerika Serikat guna melengkapi senapan serbu SS1 buatan Pindad. 
Rekanan mengajukan harga Trijicon Rp 30 juta per unit. Merasa harga itu tak masuk akal, Pramono mengeceknya di Internet. Ia menemukan harga pasar teropong hanya US$ 1.900 atau sekitar Rp 19 juta.

Mengetahui harganya lebih murah, adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu akhirnya mengutus perwiranya langsung terbang ke pabriknya di Amerika Serikat. Pramono terkejut karena harga dari pabrik itu hanya Rp 9 juta per unit. “Kurang dari sepertiga harga yang ditawarkan rekanan itu,” ujar Kepala Staf Angkatan Darat ini.

Pramono mengatakan kecewa berat terhadap praktek agen peralatan militer itu. Ia menyebutkan rekanan kadang-kadang diperlukan. Namun, ia meminta mereka tidak mengambil keuntungan yang berlipat-lipat. “Sama-sama bela negara, harusnya jangan gitu-gitu amat,” katanya.

 Siasat Dagang Makelar Senjata

foto
Depo Pemeliharaan Pesawat TNI AU
(Foto Tempo)
Jatuhnya pesawat Hawk di Riau memperjelas kabar yang selama ini terdengar samar: peralatan militer Indonesia sudah ketinggalan zaman. Dari 234 unit pesawat tempur, hanya separuh yang layak terbang. Tiga angkatan TNI menghadapi kondisi yang kurang-lebih sama. Angkatan Darat, misalnya, masih menggunakan sejumlah peralatan tempur yang lebih tua daripada usia jenderalnya. 

Majalah Tempo edisi Senin, 29 Oktober 2012, menurunkan laporan utama berjudul "Repot Mencari Simbah" mengenai pengadaan alat utama sistem senjata. Selain uzur, peralatan itu dibeli dari banyak negara sehingga platform-nya pun berbeda-beda. Itu sebabnya, dalam urusan pembelian senjata, kerap terdengar olok-olok bahwa penentunya bukan angkatan, melainkan rekanan. Peran pihak ketiga alias makelar dalam pengadaan peralatan militer ditenggarai bahkan lebih dominan dibandingkan dengan penggunanya.

Broker, yang mewakili produsen, umumnya menyorongkan peralatan pada awal masa penyusunan anggaran. Angkatan atau Kementerian Pertahanan kemudian menyusun spesifikasi pembelian peralatan militer berdasarkan tawaran itu. Tentu saja, seperti yang terjadi pada pembelian helikopter tempur Mi-17 dari Rusia pada 2007, suap mewarnai proses ini. Analis militer menyebutkan, pembelian model ini berdasarkan desakan pemasok (supplier driven factors) dan tak semata muncul dari kebutuhan (need driven analysis).

Tank Scorpion
(Foto TNI AD)
Potensi korupsi dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan memang sangat besar. Soalnya, peralatan militer memiliki spesifikasi khusus yang acap tidak ada pembandingnya. Produsennya pun terbatas, bahkan pada beberapa peralatan hanya ada produsen tunggal. Apalagi, dengan alasan rahasia, pengadaan dilakukan melalui penunjukan langsung.

Meski dinyatakan telah jauh berkurang, peran makelar -juga korupsi- dalam pembelian senjata ternyata masih cukup besar. Dengan karakteristik peralatan yang dibeli, seperti dikatakan Said Didu, Asisten Bidang Kebijakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan, peluang tertinggi terjadinya kebocoran ada pada Angkatan Laut, sementara yang terkecil pada Angkatan Darat.


Peluang korupsi dalam pengadaan alat militer itu semestinya segera ditutup. Peran makelar juga sepatutnya diakhiri. Apalagi anggaran belanja alat tempur ini meningkat setiap tahun. Dari sekitar Rp 28 triliun tahun ini, dua tahun mendatang anggaran itu sudah Rp 43,8 triliun. Pada 2030, alokasi dana untuk belanja alat utama sistem persenjataan akan menembus Rp 100 triliun.

★ Baik atau buruk adalah pilihan, tercatat di dalam dokumen, itulah sejarah ★

Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar