Slow food, Ayam pun Harus Bahagia

Bookmark and Share

UPAYA melawan efek buruk makanan cepat saji atau fast food terus menguat. Namanya gerakan Slow Food. Berawal dari Italia, gerakan itu kini sudah menyebar hingga 150 negara. Di Indonesia, salah seorang penggeraknya adalah Helianti Hilman.
-----------
AHMAD BAIDHOWI, Jakarta
-----------
Pada 1980-an, gerai-gerai restoran fast food dari Amerika Serikat (AS) menyerbu Eropa. Salah satunya McDonalds. Restoran dengan produk utama hamburger tersebut masuk ke Roma, ibu kota Italia, pada 1986. Ketika itu, beberapa kalangan mulai mengkritisi globalisasi fast food yang dituding menyajikan makanan tidak sehat. Bahkan, pada perkembangannya, sebagian orang menyebut fast food dengan istilah junk food atau makanan sampah.

Adalah Carlo Petrini yang waktu itu bersuara lantang menentang masuknya McDonalds di Italia. Dia merupakan seorang jurnalis dan kolumnis berpengaruh yang biasa menulis artikel tentang kuliner di beberapa media Italia.

Aksi Petrini itu, rupanya, menarik perhatian publik Eropa. Karena itu, pada 1989, dia bersama puluhan orang dari 15 negara berkumpul di Paris, Prancis, lalu memproklamasikan gerakan Slow Food International. Lambangnya unik, keong atau siput berwarna merah. Keong tersebut digunakan sebagai representasi makhluk yang bergerak slow atau pelan.

Sejak itu, gerakan tersebut terus meluas di berbagai belahan dunia. Masyarakat di negara-negara maju di Eropa dan AS yang memiliki kesadaran tinggi tentang kesehatan makanan menjadi pelopornya. Kini gerakan Slow Food sudah menyebar tidak hanya di negara maju, tapi juga di negara berkembang, bahkan hingga negara-negara miskin di Afrika. Total, sudah ada lebih dari 100 ribu anggota yang tersebar di 150 negara. Atas gerakan revolusionernya dalam bidang pangan itu, majalah TIME memasukkan Carlo Petrini dalam jajaran Heroes of The Year 2004.

Di Indonesia, gerakan Slow Food juga mulai tumbuh. Awalnya dipelopori para ekspatriat (orang asing yang tinggal di Indonesia, Red), tapi kini sudah makin banyak warga sendiri yang bergabung. Ini sangat positif, ujar Helianti Hilman kepada Jawa Pos di konternya di kawasan Kemang, Sabtu (20/10).

Helianti merupakan salah seorang pelopor gerakan Slow Food di Indonesia. Kini dia menjadi chairwoman Slow Food Convivium Kemang. Organisasi Slow Food memang terdiri atas kelompok-kelompok lokal yang disebut convivium yang dipimpin seorang chairman atau chairwoman. Karena itu, dalam satu negara bisa terdapat beberapa convivium yang masing-masing langsung menginduk pada organisasi pusat Slow Food International di Kota Bra, Italia.

Ibu seorang putra itu menyebutkan, Slow Food kali pertama didirikan di Indonesia pada 2006 oleh Gregory Ernoult, seorang ekspatriat yang berprofesi sebagai chef atau koki. Ketika itu, Ernoult yang berdomisili di Kompleks Lippo Karawaci, Tangerang, mendirikan Slow Food Convivium Karawaci. Namun, perkumpulan tersebut tidak berlanjut karena Ernoult pindah ke Singapura.

Peraih gelar master di bidang hukum dari Kings College, London, Inggris, yang kini menekuni profesi sebagai konsultan dan pengusaha di bidang produk pangan tersebut mulai tertarik dengan gerakan Slow Food pada 2010. Sejak itu, dia langsung mendaftarkan diri sebagai anggota Slow Food International. Dan baru pada awal 2012 Helianti membentuk Slow Food Convivium Kemang.

Nilai-nilai Slow Food ini sejalan dengan bisnis saya di Javara, ungkap perempuan kelahiran Jember, Jatim, 1971, itu. Javara adalah perusahaan dalam bidang pengembangan bahan pangan yang didirikan Helianti.

Selain Slow Food Convivium Kemang yang dipimpin Helianti, saat ini ada Slow Food Convivium Ubud yang beranggota para ekspatriat yang tinggal di Bali serta Slow Food Convivium Depok. Total anggota komunitas tersebut sudah mendekati 100 orang.

Latar belakang mereka beragam. Ada pengusaha, karyawan, aktivis lingkungan, chef, guru, jurnalis, hingga ibu rumah tangga. Dalam Slow Food, yang utama adalah kualitas anggota, bukan kuantitas. Jadi, semua adalah anggota aktif, tidak ada anggota pasif, sebutnya.

Helianti mengatakan, gerakan Slow Food bertumpu pada tiga nilai, yakni good, clean, dan fair. Good berarti makanan itu terasa enak dan segar serta merupakan bagian dari budaya lokal. Clean bermakna makanan itu diproduksi tanpa menggunakan bahan-bahan kimia yang mencemari lingkungan. Fair berarti harus ada keadilan dalam proses produksi atau cara mendapatkan makanan tersebut.

Semua anggota komunitas Slow Food harus berupaya semaksimal mungkin untuk hanya memakan makanan yang memenuhi tiga nilai tersebut, tegasnya.

Apa bedanya dari makanan organik Menurut Helianti, makanan yang masuk kategori Slow Food sudah pasti organik karena tidak menggunakan bahan kimia seperti pupuk kimia atau pestisida. Namun, tidak semua makanan organik masuk kategori Slow Food karena harus juga memenuhi konsep fair.

Konsep fair dalam gerakan Slow Food diterjemahkan sebagai keadilan untuk semua. Pertama, keadilan untuk konsumen dan produsen. Artinya, dari sisi harga, bahan pangan tidak boleh dijual terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen, namun juga tidak boleh terlalu murah karena bisa mematikan usaha produsen atau petani.

Kedua, konsep yang cukup unik, yakni keadilan untuk binatang yang akan dimakan. Karena itu, anggota gerakan Slow Food sangat anti makanan dari daging ayam broiler. Menurut Helianti, peternakan ayam broiler merupakan contoh buruk perlakuan manusia terhadap binatang ternak.

Bayangkan, ayam-ayam itu hidup berdesak-desakan dalam kandang yang sangat sempit, tak bisa bergerak, disuntik hormon penggemuk dan estrogen perangsang telur serta antibiotik. Sungguh tidak berperikebinatangan. Karena itu, komunitas Slow Food sangat against (melawan/anti, Red) dengan peternakan semacam itu, ujarnya dengan mimik wajah serius, dua tangannya terkepal erat pertanda gemas.

Di negara-negara lain, komunitas Slow Food hanya memakan daging binatang yang diternak secara baik, termasuk tidak diberi makanan yang mengandung bahan kimia. Di Indonesia, kata Helianti, contoh pilihannya adalah ayam kampung.

Kalau ayam kampung kan hidupnya bebas, bisa kelayapan ke mana-mana, makanannya juga alami. Paling tidak, hidup mereka lebih bahagia daripada ayam broiler. Karena itu, dalam Slow Food ada istilah happy animal, kami hanya memakan binatang yang hidupnya bahagia, ujarnya lantas tersenyum lebar.

Helianti mengakui, aturan-aturan dalam komunitas Slow Food cukup ketat. Karena itu, meski tidak ada sanksi tertulis, setiap anggota dituntut berkomitmen penuh dan semaksimal mungkin menjalankan konsep yang sudah disepakati.

Yang saya tahu, anggota komunitas adalah orang-orang yang punya pandangan atau ide yang sejalan dengan nilai-nilai Slow Food. Jadi, kami tidak merasa berat menjalankannya, tegasnya.

Selain itu, anggota Slow Food di negara berkembang wajib membayar iuran EUR 5 atau sekitar Rp 70 ribu per tahun. Di negara maju, iurannya bisa sampai EUR 70 per tahun.

Helianti menyebutkan, salah satu kendala yang dihadapi komunitas Slow Food adalah tidak mudahnya mendapat makanan yang memenuhi konsep good, clean, dan fair. Di kota besar seperti Jakarta memang terdapat beberapa supermarket yang khusus menjual bahan pangan organik. Namun, harganya relatif lebih tinggi. Jadi, opsinya adalah menanam sendiri, ucapnya.

Karena itu, Helianti menegaskan bahwa Slow Food bukanlah komunitas yang hanya bisa diikuti orang kaya. Buktinya, di negara-negara Afrika, banyak anggota Slow Food yang justru masyarakat miskin yang hidupnya dibantu dan diberdayakan untuk berkebun atau beternak sesuai dengan nilai-nilai Slow Food.

Lalu, apa yang sudah dilakukan komunitas Slow Food Menurut Helianti, di tingkat internasional, ada ajang tahunan bernama Terra Madre. Pada 2328 Oktober lalu, Helianti bersama beberapa anggota dan petani lokal menghadiri acara tersebut di Italia.

Dalam acara tersebut, program-program Slow Food dari seluruh dunia dipaparkan agar peserta dari berbagai negara bisa mencontoh. Terra Madre juga menjadi ajang penghargaan bagi para petani lokal dari berbagai negara, jelasnya.

Helianti menambahkan, Slow Food mewajibkan anggotanya di seluruh dunia untuk melakukan kegiatan perorangan atau kelompok, minimal tiga kali dalam setahun. Misalnya, food and taste education melalui pengenalan rasa bahan pangan lokal kepada anak usia TK atau SD. Melalui kegiatan tersebut, anak-anak diajari untuk membedakan wujud dan rasa makanan alami maupun yang mengandung zat kimia serta bahayanya.

Kegiatan lain yang dilakukan Helianti adalah kampanye One Thousand Food Gardens. Caranya, mendorong dan mengajari ibu-ibu rumah tangga untuk menanam sendiri tanaman bahan pangan di rumahnya. Konsep itu diadaptasi dari gerakan yang sukses besar di Afrika.

Program lain yang dijalankan Slow Food adalah protecting food biodiversity atau melindungi keanekaragaman hayati bahan pangan. Di Indonesia, kata Helianti, hal itu merupakan tantangan berat karena makin sedikit orang Indonesia yang peduli terhadap keanekaragaman sumber makanan.

Misalnya, sangat banyak tanaman berkhasiat tinggi yang sudah jarang dikenal orang. Misalnya, kelor. Padahal, lanjut dia, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kandungan protein kelor lebih tinggi dari daging, kalsiumnya lebih tinggi dari susu, vitamin A-nya lebih tinggi dari wortel, vitamin C-nya lebih tinggi dari jeruk, potasiumnya lebih tinggi dari pisang, dan zat besinya lebih tinggi dari bayam.

Orang-orang tua zaman dulu juga mengakui kehebatan kelor, makanya dipakai untuk memandikan jenazah, digunakan untuk menangkal santet, melepas susuk, dan lain-lain, ungkapnya.

Helianti mengakui, saat ini justru orang-orang asing yang memiliki minat tinggi terhadap produk-produk lokal Indonesia. Mereka banyak menghargai keanekaragaman pangan Indonesia. Kita yang orang Indonesia malah kurang, ujarnya.

Di Javara, perusahaan yang didirikan Helianti, konsumen terbesarnya justru orang-orang asing. Ketika Jawa Pos berkunjung ke kantor Javara di kawasan Kemang, Jakarta Selat ...

Sumber

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar