Sebagai Negara yang baru terbebas dari dominasi Hindu-India, Pakistan harus melalui masa-masa sulit sejak awal berdirinya. Jutaan umat muslim mengalir ke Pakistan. Dengan perbekalan yang serba terbatas mereka meninggalakan tanah India untuk memulai kehidupan baru di Pakistan. Pemerintah India justru meresponnya dengan melakukan pengusiran terhadap orang-orang muslim tersebut sebagai cara menambah beban ekonomi Pakistan yang masih belum stabil. Sejarah tidak akan mungkin melupakan peristiwa tragis yang menimpa para pengungsi muslim. Gerbong-gerbong kereta api yang mengangkut mereka ke Pakistan dicegat oleh tentara India di tengah jalan. Mereka dibantai dan dibunuh secara biadab sehingga kereta api itu tiba di Pakistan dengan gerbong-gerbong yang dipenuhi banyak mayat.
Rehabilitasi masalah pengungsi merupakan salah satu agenda utama yang ditangani pemerintah Pakistan. Muhammad Ali Jinnah adalah tokoh pendiri Pakistan, Ali Jinnah memindahkan markas besarnya ke Lahore untuk memantau langsung kondisi para pengungsi. Organisasi sosial didirikan sebagai sarana untuk menyalurkan dana bantuan. Dalam situasi yang sangat parah, Ali Jinnah menyampaikan pidato yang mengobarkan semangat para pengungsi, “Jangan putus asa karena beban yang harus kalian pikul, banyak contoh dalam sejarah umat manusia bahwa dengan kebulatan tekad dan jiwa besar maka suatu bangsa bisa berdiri kokoh. Kalian harus membangun semangat perjuangan, kalian adalah bangsa yang memiliki lembaran-lembaran sejarah yang penuh dengan nilai-nilai patriotisme.”
Ketika Pakistan sedang berbenah untuk mengukuhkan posisinya di kancah politik dunia, Ali Jinnah meninggal dunia pada September 1948. Liaquat Ali Khan menggantikan posisi Ali Jinnah sebagai perdana menteri pertama Pakistan. Ali Khan adalah sosok berwibawa yang memilki dedikasi tinggi terhadap perjuangan bangsa. Dia diharapkan mampu membawa Pakistan menuju negara demokrasi yang berlandaskan islam. Namun konspirasi di kalangan elit politik pada waktu itu telah menyebabkan ia terbunuh pada 1951.
Dengan meninggalnya ali Jinnah dan Ali Khan, Pakistan hampir tidak pernah melahirkan seorang pemimpin besar yang mampu merealisasikan aspirasi rakyat. Sejak awal berdirinya, Pakistan telah menjadi korban dari serangkaian pengkhianatan yang tidak hanya berdampak negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi negara tapi juga terhadap laju pertumbuhan demokrasi. Kesatuan dan persatuan Pakistan yang meliputi wilayah Pakistan Barat dan Pakistan Timur mulai digoyang oleh gerakan separatisme (gerakan yang ingin membelah sebuah kekuatan) akibat ketimpangan kehidupan sosial ekonomi, diskriminasi politik dan minimnya akomodasi untuk aspirasi rakyat Pakistan Timur di pemerintahan pusat. Faktor-faktor tersebut ditambah dengan upaya pemerintah pusat untuk menjadikan Urdu sebagai bahasa nasional di seluruh wilayah Pakistan sehingga perpecahan bangsa pun kian mendekat.
Akhirnya pada 1971 dunia menyaksikan berdirinya negara baru bernama Bangladesh. Lahirnya Bangladesh tidak lepas dari peran militer dan intelijen India. Munculnya gerakan separatisme di wilayah Pakistan Timur merupakan momentum emas bagi India untuk memecah kesatuan dan integritas Pakistan. Tentara India dalam jumlah besar masuk ke wilayah Pakistan Timur (Bangladesh) dan berhasil memukul mundur tentara Pakistan ditangan India dan berdirinya Bangladesh merupakan dua peristiwa besar yang telah mencoreng sejarah nasional Pakistan.
Sejak kemerdekaan Pakistan pada 1947, konflik antar etnik dan gerakan separatisme yang berlandaskan etnik nasionalisme merupakan ancaman terbesar bagi integritasnya. Ada berbagai suku di Pakistan; Punjabi (58 persen), Shindi (13 persen), Phastun (12,5 persen), Baluchi (4 persen), dan 4 persen Muhajir (orang-orang yang berimigrasi dari India pada tahun 1947, mereka tak terikat dengan suku namun termasuk kelompok yang dominan dalam politik dan ekonomi). Masalah ini semakin menyulitkan Pakistan untuk tegak sebagai negara yang stabil.
Pada tahun 1970-an, kerusuhan politik yang dipicu oleh gerakan separatisme di Balochistan telah menyulut perang saudara. Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto mengirim 80.000 personel tentara untuk memadamkan pemberontakan. Dengan kekuatan militer maka pemberontakan ini berhasil ditumpas.
Kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah Pakistan merupakan ekspresi dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah pusat yang mengancam posisi Zulfikar Ali Bhutto sebagai pengendali pemerintahan. Zulfikar berubah dari seorang tokoh populis yang mendapat dukungan kuat dari rakyat bawah menjadi sosok otoriter yang lebih mementingkan pribadi dan Partai Rakyat Pakistan daripada kepentingan nasional. Dia mendirikan Federal Security Force (FSF), badan intelijen untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Badan ini banyak terlibat dalam kasus pelanggaran HAM termasuk kasus pembunuhan dan penculikan lawan-lawan politik Zulfikar, sehingga banyak menimbulkan kecaman keras dari partai-partai politik Pakistan.
Di tahun 1977, Pakistan National Alliance(PNA), koalisi partai-partai politik Pakistan., muncul sebagai kekuatan baru yang menentang kepemimpinan Zulfikar Ali Bhutto. PNA mengancam dominasi Partai Rakyat Pakistan dalam kampanye pemilu 1977. Konflik antara kedua partai besar ini tak dapat dihindari dan akhirnya memicu kalangan militer untuk mengintervensi kancah politik negeri. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Pakistan Zia-Ul-Haq lantas melakukan kudeta dan mendeklarasikan pemerintahan militer. Zia berhasil menggulingkan pemerintahan Zulfikar Ali Bhutto pada Juli 1977.
Pemerintahan Zia merupakan masa paling suram dalam sejarah demokrasi Pakistan. Partai-partai politik dibekukan, media massa berada dalam pengawasan ketat rezim militer, dan demokrasi dianggap bertentangan dengan Islam. Badan-badan intelijen seperti Militarry Intelligence (MI) dan Inter-Services Intelligence (ISI) digunakan Zia untk menindas lawan-lawan politiknya serta menciptakan rasa takut di kalangan oposisi yang menentang rezim militernya.
Zia memegang tumpuk kekuasaan melalui cara yang inkonstitusional dan tidak mendapat legimitasi hukum. Untuk memperkuat posisinya, Zia mencanangkan program ‘’islamisasi” sebagai cara untuk memperoleh dukungan rakyat Pakistan. Namun program ini justru memicu konflik antara Syi’ah dan Sunni. Perlawanan bangsa Afghanistan terhadap invansi Uni Soviet (1979-1989) merupakan momentum yang kian memperkuat posisi Zia. Dia menjadikan Pakistan sebagai negara frontlinepenyalur dana-dana bantuan dari negara-negara Teluk dan pemasok senjata-senjata perang dari Amerika Serikat ke Afghanistan. Zia juga menjalin kerjasama dengan CIA (Central Intelligence America)dalam mendirikan kamp-kamp militer untuk melatih dan mempersenjatai para pejuang Afghanistan yang melawan tentara Uni Soviet.
Rezim militer mengeluarkan instruksi ke seluruh kedutaan Pakistan untuk memberikan visa kepada siapa pun yang ingin dating ke Pakistan untuk berjihad ke Afghanistan. Sejak tahun 1982 hingga 1992 sekitar 35.000 militer dari negara-negara Islam datang ke Pakistan dan bergabung dengan mujahidin di Afghanistan. Puluhan ribu militan asing lainnya di berbagai madrasah yang didirikan atas dana bantuan dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk. Doktrin jihad dihembuskan di madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah negeri di Pakistan. Pelatihan militer pun digalakkan atas kerjasama ISI (Inter Services Intelligence) dan CIA (Central Intelligence America) untuk membekali para militan sebelum terjun ke medan perang.
Islam militan mulai tumbuh subur di dalam naungan rezim militer. Zia-Ul-Haq adalah sosok kontroversial. Bagi sebagian orang dia adalah pahlawan yang telah menerapkan program islamisasi di Pakistan dia berhasil menggalang persatuan dunia Islam untuk berjihad melawan Uni Soviet di Afghanistan. Namun bagi sebagian lainnya dia adalah sosok pembunuh proses demokrasi di Pakistan yang menjadikan Islam sebagai alat politik untuk memupuk kekuasaan dan telah mewariskan budaya jihad serta senjata api pada generasi sekarang.
Kebijakan politik luar negeri Pakistan yang diterapkan Zia menyangkut masalah Afghanistan mendapat dukungan kuat dari Amerika Serikat. Bahkan Presiden Ronald Reagen dan CIA (Cenral Intelligence America) menginginkan agar Zia tetap menjadi orang nomor satu di Pakistan. Pada tahun 1985, Zia membuat amandemen baru dalam konstitusi Pakistan yang dikenal dengan “Amandemen Kelaparan” yang memberikan kekuasaan mutlak kepada presiden. Menurut amandemen ini, Presiden Pakistan berkuasa untuk membubarkan parlemen dan memecat perdana menteri atas dasar mismanagement, korupsi, dan hal-hal yang bisa mengancam kesejahreraan, kedaulatan, serta keamanan negara.
CIA (Central intelligence America) mulai berusaha membunuh Zia-Ul-Haq, Osama bin Laden, dan Sheikh Abdullah Azzam, ketika ada gejala kekalahan Uni Soviet di Afghanistan. Zia-Ul-Haq pernah megatakan bahwa nasib dirinya berada di tangan CIA (Central Intelligence America) . karena itu ke mana pun Zia-Ul-Haq pergi maka dia selalu meminta ditemani Duta besar Amerika Serikat di Islamabad. Namun semuanya berubah ketika Zia-Ul-Haq tewas dalam kecelakaan pesawat terbang bersama duta besar Amerika Serikat dan beberapa petinggi militer di Pakistan pada tahun 1988. Kematian misterius Zia akhirnya membuka jalan bagi tumbunya demokrasi di Pakistan. Namun Zia telah memperkenalkan sebuah amandemen dalam konstitusi Pakistan yang menghambat proses demokratisasi, yang dianggap sebagai suatu sistem politik yang masih baik sampai saat ini.
<<--Previous Next-->>
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar